setiap hari gue selalu ada di rumah, tapi lupa sejak kapan gue ngerasa waktu yang gue habisin di rumah itu ngga sebanding sama yang gue habisin di luar sana. karena gue cuma menghabiskan beberapa jam gue di rumah. pagi sekolah, pulang sore, sampai rumah paling cuma buat makan dan numpang mandi. sisanya? ya tidur. dulu, weekend pun gue habisin di sekolah. ya, lupa sejak kapan, sekolah udah layaknya rumah sendiri.
ngga jaranglah orang rumah komentar. orang tua gue, kakak gue, adik-adik gue, pembantu gue sekalipun tentang betapa jarangnya gue dirumah, atau tentang ngga adanya waktu buat keluarga gue sendiri.
kalau beberapa bulan lalu gue pernah ngetweet,
"bukan ngga bisa membagi waktu, tapi emang waktu yang udah ngga bisa terbagi"
yah, mungkin sedikit ada ralat ya. karena ternyata, disaat sekarang udah ada waktu pun, gue masih tetep belum bisa membagi. ada yang salah, ya?
gue sayang mereka, terlalu sayang bahkan. tapi mungkin, karena emang dasarnya gue cuek, mereka ngga bisa nangkep itu. padahal gue punya cara sendiri, buat ngungkapin rasa perhatian dan sayang gue, dengan cara yang berbeda.
gue sayang mereka, terlalu sayang bahkan. tapi mungkin, karena emang dasarnya gue cuek, mereka ngga bisa nangkep itu. padahal gue punya cara sendiri, buat ngungkapin rasa perhatian dan sayang gue, dengan cara yang berbeda.
ini, ada surat yang gue ambil dari salah satu blog orang.
dari seorang ibu,
untuk anaknya.
“Dimana rumahmu Nak?"
Orang bilang anakku seorang aktivis. Kata mereka namanya tersohor
dikampusnya sana. Orang bilang anakku seorang aktivis. Dengan segudang
kesibukan yang disebutnya amanah umat. Orang bilang anakku seorang
aktivis. Tapi bolehkah aku sampaikan padamu nak? Ibu bilang engkau
hanya seorang putra kecil ibu yang lugu.
Anakku, sejak mereka bilang engkau seorang aktivis ibu kembali mematut
diri menjadi ibu seorang aktivis. Dengan segala kesibukkanmu, ibu
berusaha mengerti betapa engkau ingin agar waktumu terisi dengan segala
yang bermanfaat. Ibu sungguh mengerti itu nak, tapi apakah menghabiskan
waktu dengan ibumu ini adalah sesuatu yang sia-sia nak? Sungguh
setengah dari umur ibu telah ibu habiskan untuk membesarkan dan
menghabiskan waktu bersamamu nak,tanpa pernah ibu berfikir bahwa itu
adalah waktu yang sia-sia.
Anakku, kita memang berada disatu atap nak,di atap yang sama saat dulu
engkau bermanja dengan ibumu ini. Tapi kini dimanakah rumahmu nak? ibu
tak lagi melihat jiwamu di rumah ini. Sepanjang hari ibu tunggu
kehadiranmu dirumah, dengan penuh doa agar Allah senantiasa menjagamu. Larut malam engkau kembali dengan wajah kusut. Mungkin tawamu telah
habis hari ini, tapi ibu berharap engkau sudi mengukir senyum untuk ibu
yang begitu merindukanmu. Ah, lagi-lagi ibu terpaksa harus
mengerti, bahwa engkau begitu lelah dengan segala aktivitasmu hingga tak
mampu lagi tersenyum untuk ibu. katamu engkau
sedang sibuk mengejar deadline. Padahal, andai kau tahu nak,ibu ingin
sekali mendengar segala kegiatanmu hari ini,memastikan engkau baik-baik
saja, memberi sedikit nasehat yang ibu yakin engkau pasti lebih tahu. Ibu
memang bukan aktivis sekaliber engkau nak, tapi bukankah aku ini ibumu?
yang 9 bulan waktumu engkau habiskan didalam rahimku..
Anakku, ibu mendengar engkau sedang begitu sibuk nak. Nampaknya
engkau begitu mengkhawatirkan nasib organisasimu,engkau mengatur segala
strategi untuk mengkader anggotamu. Engkau nampak amat peduli dengan
semua itu, ibu bangga padamu. Namun,sebagian hati ibu mulai bertanya
nak,kapan terakhir engkau menanyakan kabar ibumu ini nak? Apakah engkau
mengkhawatirkan ibu seperti engkau mengkhawatirkan keberhasilan acaramu? kapan terakhir engkau menanyakan keadaan adik-adikmu nak? Apakah
adik-adikmu ini tidak lebih penting dari anggota organisasimu nak?
Anakku, ibu sungguh sedih mendengar ucapanmu. Saat engkau merasa sangat
tidak produktif ketika harus menghabiskan waktu dengan keluargamu.
Memang nak, menghabiskan waktu dengan keluargamu tak akan menyelesaikan
tumpukan tugas yang harus kau buat,tak juga menyelesaikan berbagai
amanah yang harus kau lakukan. Tapi bukankah keluargamu ini adalah
tugasmu juga nak? bukankah keluargamu ini adalah amanahmu yang juga harus
kau jaga nak?
Anakku, ibu mencoba membuka buku agendamu. Buku agenda sang
aktivis. Jadwalmu begitu padat nak,ada rapat disana sini,ada jadwal
mengkaji, ada jadwal bertemu dengan tokoh-tokoh penting. Ibu membuka
lembar demi lembarnya, disana ada sekumpulan agendamu,ada sekumpulan
mimpi dan harapanmu. Ibu membuka lagi lembar demi lembarnya, masih saja
ibu berharap bahwa nama ibu ada disana. Ternyata memang tak ada nak,tak
ada agenda untuk bersama ibumu yang renta ini. Tak ada cita-cita untuk
ibumu ini. Padahal nak, andai engkau tahu sejak kau ada dirahim ibu tak
ada cita dan agenda yang lebih penting untuk ibu selain cita dan agenda
untukmu, putra kecilku..
Kalau boleh ibu meminjam bahasa mereka,mereka bilang engkau seorang
organisatoris yang profesional. Boleh ibu bertanya nak, dimana
profesionalitasmu untuk ibu?dimana profesionalitasmu untuk keluarga?
Dimana engkau letakkan keluargamu dalam skala prioritas yang kau buat? Ah,waktumu terlalu mahal nak. Sampai-sampai ibu tak lagi mampu untuk membeli waktumu agar engkau bisa bersama ibu..
Setiap pertemuan pasti akan menemukan akhirnya. Pun pertemuan dengan
orang tercinta, ibu, ayah, kaka dan adik. Akhirnya tak mundur sedetik tak
maju sedetik. Dan hingga saat itu datang,jangan sampai yang tersisa
hanyalah penyesalan. Tentang rasa cinta untuk mereka yang juga masih malu
tuk diucapkan. Tentang rindu kebersamaan yang terlambat teruntai.
........................................................jleb.