"Aku selalu khawatir."
"Khawatir? Aku... aku antara excited,
dan takut."
Aku selalu khawatir dengan masa depan. Maka kali ini
pertanyaanmu membunuhku. Tepat sasaran di titik lemah dinding kecemasan.
Menguak pertanyaan didasarkan keegoisan pernyataan. Entah kamu tahu atau tidak,
dahiku mengerut tanpa sadar. Sebentar lagi aku akan mengatakan hal bodoh, yang
siap-siap akan dikalahkan dengan argumenmu.
"Masa depan itu gamblang,
menurut aku. Kadang, perencanaan hidup engga sejalan sama kenyataan karena
beberapa faktor merusak ekspetasi."
"Faktor apa?"
Ucapanku bukan suatu bentuk pesimisme. Aku baru akan
melewati jembatan tali. Di seberang sana kamu memperingatkanku untuk tidak
menengok ke bawah atau belakang. Maka aku tidak. Setidaknya kamu sudah bisa
sedikit menghela nafas lega, untuk keberhasilan melewatinya. Sesampainya aku di
seberang, tertawakan saja aku dengan senyum sarkasmu. Supaya aku bisa
membalasnya dengan pelukanku.
Baiklah, simpulkan saja kita sama-sama punya mimpi. Aku dan
kamu punya rencana. Aku dan kamu punya impian. Bahkan ada kita di beberapa
bagiannya. Diantara sekian mimpi-mimpi, fokuskan saja dulu, seperti katamu.
Yah, aku harap Dia mengabulkan Amin-ku disetiap Amin-mu.
Jadi, tolong maklumi saja kekhawatiran-ku. Seperti aku
khawatir dengan ketakutan-mu.
###
Seperti biasa, kamu diam.
Tapi kali ini kamu sudah bersuara
tanpa aku harus mulai bertanya.
Nada suaramu meninggi.
Kamu terlalu naif.
Coba turunkan dulu nada suaramu,
Atau perlu aku tutup bibirmu
dengan bibirku?
....................
Aku mulai ingin bertanya, tanpa
tanda tanya.
Agar kamu tidak perlu berseru,
dengan tanda seru.
###